Merokok

Draft lawas ini ditulis 2014, dipublikasikan 5 tahun kemudian.

Bulan kemarin, masih ada kursi di Smoking Room terminal B1 Bandara Soekarno Hatta. Hari ini kursinya hilang entah kemana. Beberapa orang memilih berdiri, saya dan beberapa yang lain lebih memilih jongkok atau lesehan. Meski dengan posisi ini kaki jadi agak manis, sampai2 terasa kesemutan.

Fasilitas Smoking Room di Terminal ini memang agak anu. Pintu masuk tidak bisa (?) ditutup. Ketika perokok berkumpul, asap beracun sering mengepul ke luar. Apalagi di dalam, sudah mirip pawon di rumah saya saat saya masak air di sore hari. Tapi ini tak menghalangi perokok bermulut pahit untuk berkumpul, ngobrol sambil membakar rupiah.

Lanjutkan membaca “Merokok”

Señor

Software Architect, pangkatku.
Jabatan yang luar biasa
Kalau rubuh karyaku
Akankah aku dipenjara?
Aku software engineer ngawur
Berkarya tanpa komposisi.
Aku membangun rel sepur
untuk sepeda dan lari pagi.
Aku lelah,
Panggil aku tukang ketik saja
tak perlu titel aneh-aneh.
Aku cuma ingin berkarya
tanpa aturan-aturan nyeleneh.

Dasawarsa

Menuju sepuluh, mengingat kenangan
Menengok kemana jalan membawa kita.
Dari satu, pertama.
Dimana kisah kita bermula.
Satu lembar kertas berpuluh kata satu makna.
Hasrat untuk berdua.
Karena dua itu genap, genap itu lengkap,
meski lengkap tak pasti sempurna.
Dua enam Oktober, 
dua insan satu tujuan tercapai juga.
Tiga pintamu kala itu:
dekat senyum, 
buang marah, 
jauh asap tembakau laknat.
Bukan marah bukan salah,
tapi kasih yang membuatku selalu ingat
Sebab kasih itu seyogyanya sejalan seirama.
Setuju setujuan, bersama bahagia.
Empat tak penting,
abaikan saja karena cinta itu psikologi, bukan statistika.
Lima kota memisah, enam tahun terpisah; toh kita biasa saja.
Tak ada wacana pecah, tak ada pertanda bubrah.
Tujuh kali aku mampir ke rumahmu, 
sekedar bertemu dan ngobrol di kursi.
Andai pertama tak tersesat, harusnya jadi delapan.
Jarang memang, karena meteran tak bisa dikorupsi.
Dan tanggalan tak selalu menjadi teman.
Mungkin kau lupa, atau mungkin tak peduli.
Sembilan, hampir sepuluh tahun lalu
kita bertemu untuk pertama kali.
Kemudian canda, cerita, dan teman
membawa kita ke hari Jumat yang cerahnya terasa berbeda,
Hari saat kau katakan iya.

Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian

Masih saja anu kalau baca ini. ._.

Kumpulan Cerpen Kompas

Langit jadi merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Pucuk-pucuk sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan ke udara seperti tinta gurita. Para satria berbaju zirah itu bergelimpangan. Jerit putus asa menyesaki ruang. Makhluk itu marah luar biasa. Rumah-rumah, pohon-pohon, pucuk gunung di kejauhan, jadi remuk tak jelas bentuk. Rata tanah. Semua. Kecuali satu anak yang berdiri tegak tak bergerak. Tangannya menggenggam busur yang selesai teregang. Wajahnya segelap batu, namun matanya seterang kilat. Dari busurnyalah panah besar yang menghunjam di dada sang naga.

Naga itu pasti akan mati, Ibu, bisiknya. Lalu matanya terpejam. Mungkin tertidur. Atau mencoba tidur. Gambar di atas kertas besar itu kini didekap di dadanya. Gambar yang sesak dengan coretan dan garis tebal patah-patah yang diguratkan penuh emosi. Gambar yang cuma punya tiga warna: merah, hitam, dan kelabu.

Lihat pos aslinya 1.674 kata lagi